Kerajaan Samudera Pasai berdiri pada abad ke-13 M di Lhoksumawe, Aceh Utara. Kerajaan ini sudah berhasil membangun peradaban yang sangat gemilang di bumi nusantara, lebih tepatnya di tanah berjuluk “Serambi Mekkah” itu.
Nah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai peninggalan-peninggalan dari Kerajaan Samudra Pasai ini. Yuk, simak dengan seksama.
Dirham
Zaman dulu Dirham nggak pake kertas, maka dari itu dirham-dirham yang ada di Kerajaan Samudera Pasai dibuat dari 70% emas murni 18 karat tanpa campuran kimia kertas. Koin ini berukuran mungil, berdiameter 10 mm dengan 0,6 gram setiap koinnya.
Dirham ini dicetak dengan dua jenis, yakni satu Dirham dan setengah Dirham. Pada satu sisi dirham atau mata uang emas itu tercetak tulisan Muhammad Malik Al-Zahir. Sementara di sisi lainnya tercetak tulisan nama Al-Sultan Al-Adil. Dirham ini banyak digunakan sebagai alat transaski, terutama tanah.
Dirham ini tetap berlaku hingga bala tentara Nippon mendarat di Seulilmeum, Aceh Besar pada tahun 1942. Namun ternyata sampai hari ini pun di daerah Sumatera Barat masih bisa dijumpai pemakaian satuan mas dirham ini (1 mas = 2,5 gram).
Tradisi mencetak Dirham mas kemudian menyebar ke seluruh Sumatera, bahkan sampai semenanjung Malaka semenjak Aceh menaklukkan Pasai pada tahun 1524.
Cakra Donya
Cakra Donya adalah sebuah lonceng yang bisa dibilang keramat. Cakra Donya ini merupakan lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina tahun 1409 M. Lonceng ini memilik tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra sendiri memiliki arti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, matahari atau cakrawala. Sementara Donya berarti dunia.
Pada bagian luar Cakra Donya terdapat sebuah hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Arab dan Cina. Aksara Arab tidak dapat dibaca lagi karena telah aus. Sedangkan aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang sudah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5).
Intinya, Cakra Donya ini adalah sebuah lonceng impor. Cakra Donya sendiri merupakan hadiah dari kekaisaran Cina kepada Sultan Samudra Pasai. Kemudian hadiah lonceng ini dipindahkan ke Banda Aceh sejak portugis berhasil dikalahkan oleh Sultan Ali Mughayat Syah.
Naskah Surat Sultan Zainal Abidin
Naskah surat Sultan Zainal Abidin merupakan surat yang ditulis oleh Sultan Zainal Abidin sebelum meninggal pada tahun 1518 Masehi atau 923 Hijriah. Surat ini ditujukan kepada Kapitan Moran yang bertindak atas nama wakil Raja Portugis di India.
Surat ini ditulis menggunakan bahasa arab, isinya menjelaskan mengenai keadaan Kesultanan Samudera Pasai pada abad ke-16. Selain itu, dalam surat ini juga menggambarkan tentang keadaan terakhir yang dialami Kesultanan Samudera Pasai setelah bangsa Portugis berhasil menaklukkan Malaka pada tahun 1511 Masehi.
Nama-nama kerajaan atau negeri yang memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Samudera pasai juga tertulis di dalamnya. Sehingga bisa diketahui pengejaan serta dan nama-nama kerajaan atau negeri tersebut. Adapun kerajaan atau negeri yang tertera dalam surat tersebut antara lain Negeri Mulaqat (Malaka) dan Fariyaman (Pariaman).
Stempel Kerajaan
Stempel ini diduga milik Sultan Muhamad Malikul Zahir yang merupakan Sultan Kedua Kerajaan Samudera Pasai. Dugaan tersebut dilontarkan oleh oleh tim peneliti sejarah kerajaan Islam. Stempel ini ditemukan di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.
Stempel ini berukuran 2×1 centimeter, diperkirakan terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Adapun kondisi stempel ketika ditemukan sudah patah pada bagian gagangnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa stempel ini sudah digunakan hingga masa pemerintahan pemimpin terakhir Kerajaan Samudera Pasai, yakni Sultan Zainal Abidin.
Demikian sedikit penjelasan mengenai peninggalan-peninggalan bersejarah dari Kerajaan Samudra Pasai. Semoga bermanfaat, sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar